Monday, July 26, 2010

[Haiku] Zomerfestival

In de zomertijd
De volle maan wordt gezweet
Bij Loveparade?

MiRa - Amsterdam, 26 Juli 2010



[Haiku] Festival Musim Panas

Di musim panas
Bulan purnama berkeringat
Ketika Loveparade?

MiRa - Amsterdam, 26 Juli 2010

[Haiku] Kabinet formatie

Na verkiezingsfeest
Het klok draaiende zonder eind
Op het toneelspel

MiRa - Amsterdam, 26 Juli 2010


[Haiku] Kabinet Formasi

Setelah pemilihan partai
Arah putaran jam tanpa henti
Di permainan teater

MiRa - Amsterdam, 26 Juli 2010

Sunday, July 25, 2010

[Haibun] Absurditas

Di atas pohon
Burung camar melayang
Hati gelisah

Aku berdiri di sini, pada titik pandang yang tinggi di bawah langit biru, terbayang ingatan bencana kehidupan akibat hempasan gelombang korupsi, bagaikan besarnya gelombang laut menggulung daratan bumi pertiwi, yang membumi hangus sumber daya manusia, mengerikan peristiwa musibah itu, seakan-akan seperti penguasa jagat alam sedang murka, ataukah berduka pada alam ciptanya dalam kehidupan tanpa daya?

Peradabannya
Kehidupan sosial
Kaya dan miskin

Ada satu hal
Pertaruhan hidupnya
Tidak bermakna

Ah..pandangan dunia tentang jiwa nasionalisme dan patriotisme telah dianggap usang, ataukah menyerah pada paradigma perubahan? Ada yang mengingatkan bahwa ketinggian dimensi kesadaran manusia telah dieliminasi.

Di sepanjang garis rencana,
antara penghubung sumbu penyulut api,
menunjukkan bagaimana rentannya luka lama,
jejak semangat kemerdekaan dan berdikari,
tak lagi seperti hamparan padang ilalang,
yang tanpa mengenal lelah melambai dengan,
beraneka warna bunga yang tumbuh, serta
tak pernah mengenal kegersangan, ketegaran
menuai nilai bibit ketabahan melawan cobaan hidup.

Ingatan masa lalu, mencatat sisi lipatan,
mengikuti sepanjang barisan kumpulan kata,
yang bernada irama nafas sehamparan ilalang,
betapa kuatnya nilai kebersamaan,
menggapai asa dan manfaat bersama,

Di saat ini,
kepastian hidupnya
Rakus materi

Hidup tanpa kemudi
Dirinya dinistakan

MiRa - Amsterdam, 24 Juli 2010

Thursday, July 22, 2010

[Haiku] Paradoksal


Harumnya warna
Elang memekik keras
Bernyanyi sumbang

Semak belukar
Di bawah pohon rindang
Hati membatu

Memandang silau
Tatap mata, membuta
Terbayang galau

Nyamuk menari
Mengungkap malam hari
Irama duka

Daya kreasi
Bagaikan bayi lahir
Kekar mengakar

MiRa - Amsterdam, 22 Juli 2010

Monday, July 19, 2010

[Tanka] Harapan

Sebutir pasir
Dihempas ombak, jauh
Sampai pesisir
Yang telah dilalui
Akan terbawa serta

Di hulu sungai
Pernah mengalir jernih
Tetesan air
Ada harapan baru
Di seberang lautan

Kumpulan bintang
Membentang sinar binar
Di langit gelap
Tak mungkin tergapai
Mimpi mentari cerah

MiRa - Amsterdam, 19 Juli 2010

Friday, July 16, 2010

[Haibun] Pesan Terakhir

Di kekosongan
Masuk akal pikiran
Bersarat makna

Putih sabar menunggu
Biarkan tinta kering

Saling memandang
Mata berbinar jalang
Kesengsaraan

Genggamlah tanganmu, bersama
dalam aliran darah kita,
untuk menggugat keberanian,
membebaskan penderitaan,
keadilan harus ditegakkan.
Walaupun angin topan,
menembus rasa duka lara,
jiwa semangatmu tak akan punah.

Ah..ku pikir, kau merasa,
Semuanya benar-benar nyata.
Ataukah hanya mimpi,
yang dihimpit cermin diri,
dari masa lalunya

Dalam hidupnya
Yang tidak tampak
Menjadi fakta

Di bumi pertiwi,
kekayaan alammu,
terkuras habis,
air jernih,
menjadi,
keruh.

Langit memerah
Matahari merona
Berbunga api

Pesan terakhir
Mengarah jejak langkah
Untuk mendatang

Musim silih berganti
Anak zaman menantang

MiRa - Amsterdam, 15 Juli 2010

Sunday, July 11, 2010

[Haibun] Warga Negara

Bangkit, lihatlah
Kekayaan alammu
Berlimpah ruah
Sumber aneka ragam
Berlumur limbah nista

Engkau, yang mulia,
penentu arah jalan air sungai mengalir,
penjelajah sumber air jernih,
yang kemudian menjamah sumber daya alam,
sebagai kekayaan bangsamu,
namun tangan-tangan kotormu,
menodai kesuburan alam fana,
dizinah dan dijarah isi perut bumi pertiwi,
tanpa jiwa prikemanusiaan.
Di tempat ini,
tanah airmu tak lagi punya belantara,
laut melepas pantai, erosi
jiwa kehidupan rakyatmu,
mengering, kurus kerontang,

Ingatkah kau, yang mulia,
Sejarah kemerdekaan,
diperjuangkan untuk semua,
bangsa dan negara dibangun,
dengan darah juang rakyatmu,
membangkitkan berlawan,
berpijak anti penindasan

Kini hak-hak keadilan dikhianati,
baja bergolak dalam arena rebut kuasa,
di bawah ancaman moncong senjatamu,
Konstitusi dibuat,
tidak menegaskan tentang hak sipil,
dirintis dalam kumpulan individu,
memimpikan tanah garapan,
menjadi lahan korupsi,
demi menjamin kesejahteraan koruptor.

Lintasan pegunungan yang menjulang megah,
sumber daya alam berkubang nista dosa,
penguasa daya guna mencincang lumat jiwa dan raga wargamu,
susunan kata-kata terukir selama 45 tahun,
bertinta lumuran darah, yang
mencatat cerita dusta niscaya,
nyatanya rakyatmu terkubur,
dalam timbunan waktu usia uzur,
rentan tenaga kerjanya, lalu
menjadi korban perdagangan orang,
demi penikmat jiwa durjana.

Ah..bukankah Negara ini bagaikan sebuah taman bunga,
kita semua bunga yang berbeda warna, dan
memiliki kekuatan jati dirinya,
untuk merintis kehidupan mandiri,
yang setara, adil dan makmur.

Warga negara
Berdamai dengan alam
Sepanjang musim
Biarlah bunga mekar
Indah merekah harum

MiRa - Amsterdam, 10 Juli 2010

Thursday, July 8, 2010

[Haiku] Pencerahan

(1)
Langit membiru
Mata masih terjaga
Burung berkicau

(2)
Berbagi payung
Samping kantor polisi
Pesta prasmanan

(3)
Di teras kaca
Hening bersama Bunda
Angin semilir

(4)
Menuju rumah
Di simpang jalan rawa
Kodok menyapa

(5)
Di atas metro
Sepanjang kabel listrik
Burung berbaris


MiRa - Amsterdam, 27 Juni 2010

Monday, July 5, 2010

[Haibun] Di Pasar Bebas

Pintu pasar bebas sistim ekonomi kapitalisme semakin terbuka lebar, arus badai produk import mengalir deras, meluber tak tertanggulangi di Ibu pertiwi, bagaikan air bah yang meluap liar, menerjang garang dan mengganas melibas produk lahan sektor dalam negeri.

Di pasar bebas
Ekonomi liberal
Buruh di pecat
Sumber alam dikuras
Tergantung barang impor

Aah...kehidupan sosial ekonomi liberalisasi, nyatanya di dukung dan ditunjang oleh sistim pemerintah paska Orde Baru, peran individu dan mekanisme pasar telah mendominasi kekuatan penawaran dan permintaan barang konsumsi impor, dengan harga dijajakan lebih murah dari pada barang barang produk dalam negeri, memproses kehancuran usaha sektor industri padat karya.

Kalah bersaing
Yang dari pengusaha
Jadi pedagang

Diperdagangkan
Semuanya dijarah
Broker politik

Pemecatan kerja, pengangguran yang kehilangan sumber mata pencahariannya, telah merubah nasib rakyat semakin terjerumus dalam jurang kemiskinan dan ketidakberdayaan, bahkan harga kebutuhan bahan pokok, menghimpit roda kehidupan masyarakat pengangguran dan miskin, lalu sampai kapankah berakhir?

Mulia dan megah,
Hidup pengabdi uang
Membungkuk damai

Eksploitasi
Dari barat ke timur
Dikhianati

Bebaskan jiwa budak!
Kemenangan direbut

MiRa - Amsterdam, 5 Juli 2010

Saturday, July 3, 2010

[Haibun] Imigrasi

Rembulan di senja hari, Amstelkade - 25 Mai 2010


Di balik cadar
Mulutnya komat-kamit
Begitu pucat
Hidangan makan malam
Berisi kepedihan

Ah.. kisah pahit
Tak ada yang peduli
Dan dilupakan
Beranjak dari duduk
Dia terhuyung-huyung.

Di hari kerja
Menuai kebencian
Terjerat krisis
Kemiskinan membukit
Kesenjangan sosial

Kelahiran imigran diperbudak!
Uang dan kekuasaan menjadi bencana kejahatan manusia
Keindahan sayap kupu-kupu dicukur,
terkubur dalam usia kepompong.

Orang kaya tidak membayar tenaga kerja kita
Bunga uangpun hasil rampasan kekayaan alam,
yang dimiliki nenek moyang kita.
Kelaparan waktu tak pernah mati

Awan kelabu
Menyelimuti bulan
Di kegelapan
Tenang, menyapa aneh
: "Jangan berdiri di angin!"

Hatinya surut
Memori matahari,
Mengalir kering
Keheningan membisu
Waktu mengalahkan kita.

Keberuntungan,
sistim kapitalisme
Jiwa apatis
Lintasan kehidupan
Menggali kuburannya

Bercermin diri
Kecemasan menggumpal
Miskin dan hina
Musim silih berganti
Ada saat melawan!


MiRa - Amsterdam, 20 Juni 2010

Haibun buat Mawie Ananta Jonie


Kita berkumpul
Suasana bersama
Di Hari ini

Kehangatan musim semi di Almere, tercipta rangkaian bunga kehidupan, menjalin citra kenangan perjalanan panjang sampai usia kini, perputaran jarum jam, berdetak tanpa henti, dari pondok Melati menebar bibit jiwa kemanusiaan, bersemi menyambut kuncup bunga bermekaran, takjub, memberi lebih kaya warna pada dimensi kehidupan baru, meniti generasi anak dan cucu.

Dari kampung halaman
Kehadirannya
Telah dilaluinya

Menukik tapak jejak
Semangat perjuangan

Perjalanannya
Proses alamiahnya
Silih berganti

Ingatan masa lalu
Mengusik cita rasa

Bersama puisi, bercermin pada makna hidupnya, merintis sampai tunas kecil, tumbuh dan subur di taman rumah penyair Mawi Ananta Jonie, selamat Ulang tahun ke 70!

MiRa - Amsterdam, 5 Juni 2010

Catatan:
Puisi ini adalah salah satu karya, dibacakan pada acara pesta Ulang tahun Penyair Mawie Ananta Jonie ke 70 tahun, di Almere, tgl 5 Juni 2010

[Haibun] Amnesia Lumpur Beracun

Berkontradiksi
Perubahan ilusi
Nihil logika

Struktur ribet
Bencana lumpur panas
Tanpa solusi

Aah..akibat jalur berpikir dipersimpangan jalan, dirintis arus komunikasi error, maka sistim perubahan menapak pada jejak keputusan berpihak, mengatas namakan untuk kebenaran, keadilan dan hak Azasi Manusia, nyatanya politik elit menjadi wadah anjang rebutan rezeki penjualan kesengsaraan rakyatnya.

Tipu muslihat
Persepsi anomali
Berkedok bisnis

Saling berkepentingan
Buta mata hatinya

Melawan penindasan, menepis daya ingatan budaya kesadaran kolektif, kebangkitan semangat persatuan dan kesatuan demi mempertahankan kemerdekaan jati diri bangsa, untuk perjuangan keadilan sosial seperti mengalami amnesia bernuansa hampa udara, dirasakan hanyalah saling menyakiti dan melukai antar saudara setanah air.

Penetrasi kapital
Gas bumi murka
Dosanya penguasa

Integrasi korupsi
Budaya kebatilan

Kaya dan miskin
Ketidaksetaraan
Diperjuangkan

Pergolakan sosial
Cermin kemandirian

MiRa - Amsterdam, 2 Juni 2010

[Haibun] Lumpur Lapindo

Lumpur Lapindo
Di seberang lautan
Panas mengganas

Semburan gas beracun
Hancur meluluh lantak

Aah... Letusan liar lumpur panas itu, meluap ganas tanpa henti, mengalir deras, menggelegar murka, membrangus hangus, ludes desa kampung halaman bersama lahan pertanian, tatanan kehidupan umat manusia porakporanda.

Pemboran sumur gas bumi, nyatanya gagal total, akibat eksplorasi dan ekploitasi di Porong - Sidoarjo, jiwa tamak pemodal bermoral lintah darat, demi mengeruk keuntungan sistim kapitalisme.

Bisnis pemodal
Konspirasi korupsi
Dan politisi

Akibat ulah kafir
Tragedi manusia

Gelombang awan hitam pekat di kaki langit, kelam mencekam menyertai
nestapa duka lara, pedih dan nyeri kehilangan sanak keluarga yang dikasihi.

Dari rumahnya
Diungsikan, terlantar
Dipaksa pergi

Rakyat penduduk
Dijarah dan ditipu
Hak Keadilan?

Rawan bencana
Anak jaman melawan!
Ibu Pertiwi

MiRa - Amsterdam, 29 Mei 2010

[Haibun] Misteri



Setiap perjalanan, ingatan direbut kembali, kemudian dimasukkan dalam kuil kenangan, diawali dengan kelahiran, kematian dan reinkarnasi tak mungkin bisa dibatalkan.

Misteri kehidupan
Terbungkus kusut
Tanpa pegangan

Matahari terbit
Mawar dipangkas
Pandangan dikaburkan

Ada keanehan membuat ruang di hati, kali ini dalam tindakan, dihilangkan dari kehidupan, lalu melemparkannya ke rumput liar.

Menghambat rasa
Implikasi tercipta
Kenyamanannya

Di seberang jalanan
Kegelapan memudar

Depan jendela
Dari tempat dudukku
Burung berkicau

Waktu dan percakapan
Tak ada kejelasan

MiRa - Amsterdam, 24 Mei 2010

[Haibun] Kisah anak Serdadu

Sebuah film dokumenter, berjudul "Mijnheer de vader" (Tuan papa) mengulas tentang sejarah kolonial Hindia Belanda, di mana narasi serdadu Belanda pada tahun 1950, meninggalkan sekitar 8000 anak-anaknya di ufuk timur.

Pohon di puncak
Menggelinding ke bawah
Tangkai berembun
Jauh dari lautan
Angin mendesis tenang

Cermin dari cerita curahan hati, mengulas refleksi sketsa lukisan bertinta merah, mengukir goresan kisah suratan takdir dirinya, tanpa pengakuan hukum legalitas sebagai anak kandung "Tuan Papa"nya, telah mengusik ingatan riwayat hidupnya, meniti nasib anak bangsa, yang kelahirannya menjadi korban cinta dalam agresi perang kolonial.

Menabur debu
Angin dari utara
Masuk kubangan
Anak korban serdadu
Polisionil aksi

Selama perang kolonial 1946-1949, peristiwa penyerangan kolonialis, mengerahkan 130 ribu serdadu Belanda, menjadikan kota Surabaya lautan api, jiwa terbakar mengusung semangat kaum pemuda, berjuang demi mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia yang selama 350 tahun telah terjajah.

Serdadu Londo
Menebar keresahan
Perang dan cinta

Diterlantarkan
Kehilangan ayahnya
Tabu dan rindu

Darah merangkak
Pergi lebih kreatip
Biar mengalir?

MiRa - Amsterdam, 2 Juli 2010

Sumber: http://player.omroep.nl/?aflID=11120021&tt888=true

[HAIBUN]: Musim Bunga


Daun bersemi
Hijau menghias kota
Bunga merekah

Ingatan malam hari
Sinar bulan membayang

Aaah...terik matahari melayukan bunga dan daun-daunan, hingga tunduk tanpa daya. Hukum alam telah mengajarkan pada kita semua, bahwa hidup manusia dihitung dalam batasan waktu menuju kuburan, sekali pergi tak mungkin kembali lagi.

Mengenang masa
Usia melebur duka
Berbina jasa

Megah merah, berdarah
Hayat dikandung badan

Kuingat pesan akhirmu, Ayah, bahwa kehormatan, kemasyuran dan nama harum bukanlah titik akhir idaman hidupmu, walaupun hidup, mati, hina dan mulia adalah pemberian alam.

Kilatan petir
Di antara mega hitam
Awan menggumpal

Cermin berbalut luka
Kalah berlapis dendam

Waktu menjejak hening, raga terlentang di tempatnya, menyatu dalam gundukan tanah subur, bunga-bunga mungil menghias cantik di atas pusaramu. Ketika roch termenung dihadapan makam tak berpapan nama, perjalanan hidupnyapun tak berteduh.

Menuju pulang
Merambah jalan bebas
Tiada buntu

Menanti akhir hidup
Maut belum menjemput

Perahu laju
Menyisir sungai
Tekadku menggelora

Walau tongkat estafet
Rapuh dimakan waktu


MiRa - Amsterdam, 25 April 2010

Keterangan foto:
Laburnum anagyroides
Golden Chain Tree
Amstel Kade, berlatar belakang Rumah di atas Air dan taman Bunga - April 2010