CERPEN

Awan mengawang di kepala


Anka, apa kau dengar yang kutanyakan?" ia terkejut kaget dari lamunannya, lalu menatap bosnya seraya bertanya: "Maaf, apa yang anda barusan tanyakan?" Manajer itu tak mengulangi pertanyaannya, tapi hanya mendesah, rekan-rekan sekerjanya terdiam bisu serta saling memandang heran. Keheningan ruangan rapat afdeling mencekam dan terasa menyakitkan.

Rapat laporan kerja berlanjut ke tema berikutnya. Anka mencoba dengan cermat mengikuti pembahasan agenda kerja harian, memasalahkan soal gosip dan mengulas rasa kekhawatiran kehidupan rekan-rekan sekerjanya.

Padahal untuk setiap mengikuti rapat, bagi Anka ibaratnya seakan melihat gambar awan yang mengawang tidak di langit, tapi di kepala rekan-rekan sekerjanya. Atau bagaikan menonton kumpulan awan dalam filem kartun, yang tergambar gumpalan awan lembut, berwarna putih dan berbulu halus.

Awalnya gambaran awan itu tak ada dalam pikiran Anka, biar pun kadang ia merasa terganggu kosentrasi pekerjaannya. Suatu kali tiba-tiba Anka mendengar suara hembusan angin, yang seperti membisikkan sesuatu ditelinganya. Dirasakannya dingin hembusan angin itu, dan merasuk ke dalam alam bawah sadarnya, lalu kemudian terekam dalam bentuk gumpalan awan dipikirannya. Maka suara itu tak dimengerti maksudnya.

Di waktu hari-hari baik kehadiran awan-awan putih itu bisa diabaikan bahkan Anka percaya pada keyakinannya, yang mampu mengusir gambar gumpalan awan yang merasuk ke dalam pikirannya. Tapi ketika hari-hari baiknya sedang mengalami penurunan, ia merasa begitu kelihatan lelah dan jemu. Betapa sulitnya ia membuang gambar kumpulan awan yang mulai menguasai alam pikirannya. Seakan gambar kumpulan gumpalan awan awan itu terlihat naif dan seperti tak punya rasa bersalah, karena dengan bebasnya dibiarkan masuk mendominasi isi kepalanya Anka. Lalu, apa yang harus ia lakukan, lagi pula siapa pula yang akan memperdulikannya?

Di saát rapat hampir berakhir, suara bising hembusan awan putih tak lagi mampu dihentikan, bahkan suara yang dirasakan lembut itu, kemudian berubah menjadi garang dan berang. Bisikan kata-katanya yang nyaris tidak terdengar jelas itu, semakin mendominasi arus pemikiran Anka.

"...apa yang akan dilakukan untuk minggu depan?" Tiba-tiba tanya bosnya seraya menatap tajam kearah Anka, yang mengangguk seperti mengerti maksud pertanyaannya itu. Fragmen tema pembicaraan tak sepenuhnya masuk dalam rejistrasi pikiran Anka, akan tetapi dengan sigapnya ia mampu menanggapi pertanyaan bosnya itu. Dan, nyatanya rekan-rekan sekerjanyapun merasa puas, bahkan mereka tak melihat ada gelagat aneh dalam diri Anka yang tercermin sama dengan diri para koleganya itu.

MiRa - Amsterdam, 16 Mei 2011


Kesedihan dan Harapan

Ada seorang perempuan mungil sedang berjalan menelusuri sepanjang jalan berdebu. Ia kelihatan tua, tapi raut wajahnya selalu tersenyum, memancarkan cahaya terang bagaikan seorang gadis periang.

Perempuan tua itu kelihatan kurus kerempeng, yang kemudian tiba-tiba berhenti melangkah di suatu tempat tak berpenghuni, ia menunduk ke bawah, dan menatap ke arah bentuk menyerupai sosok tubuh, yang sedang duduk berjongkok, bungkuk merunduk terbungkus debu. Ia tak bisa mengenali lagi raut wajahnya. Ini mengingatkan dirinya pada kain sutra abu-abu menyelimuti tubuh manusia. Perempuan mungil dan kecil itu lalu menghampiri serta menyapanya dengan suara lembut, “Siapakah anda?”

Pancaran mata menatap hampa itu seperti tak bernyawa, dan tampak lelah, “Aku? Kesedihan.” Bisiknya terbata-bata, suaranya lembut berirama sendu hampir tak terdengar.
“Oh, kesedihan,” Jawab perempuan mungil itu dengan rasa penuh bahagia, seakan-akan mendengar ucapan dari seorang teman akrab yang telah dikenal lama.
“Anda kenal saya?” Tanyanya curiga.
“Tentu saja aku tahu kau siapa, bukankah kau telah membimbing sebagian jalan hidupku?
“Ya, tapi..” Kesedihan agak tergagap, “Mengapa kau tak tinggalkan saja aku sendiri disini?”
“Mengapa aku harus meninggalkanmu, sayangku? Bukankah kau telah mengetahuinya, bagaimana nasib hidup setiap pengungsi yang diasingkan? Sebenarnya aku ingin bertanya ke kau, mengapa kau tampaknya begitu putus asa?” Tanya perempuan tua itu dengan penuh perhatian, lalu ditatapnya mata kesedihan. Wajah yang dulu teduh dan tenang itu kini berurai air mata kesedihan.
“Aku … Aku sedih,” jawab sosok berselimut abu itu, suaranya bergetar menahan pedihnya Kesedihan.
Perempuan tua itu lalu duduk di sampingnya, “Kau kelihatan begitu sedih,” katanya sambil mengangguk-nganggukkan kepalanya dengan penuh perhatian dan pengertian, “Ceritakanlah apa yang membuat kau begitu mendalam sedihnya.”

Kesedihan menghela napas dalam-dalam. Terbersit dibenaknya, apakah kali ini memang ada orang yang benar-benar ingin mendengarkan kisah keinginannya? begitu seringnya orang yang ditemuinya menjadi harapan keinginan dirinya.
“Oh, kau tahu itu,..” ia mulai hati-hati bercerita, “tak ada seorangpun yang menginginkanku. Ini sudah suratan hidupku, hanya sejenak hadir diantara orang-orang yang ingin denganku. jika aku datang menghampirinya, mereka itu seketika merasa takut, serta menghindarinya seperti aku ini wabah penyakit menular… “.

Kesedihan itu menelan air ludahnya, kemudian meneruskan tuturkatanya: “Mereka itu telah menciptakan kata-kata, yang di ucapkan untuk orang-orang yang ingin mereka asingkan, katanya: “Ah, hidup ini adalah sebuah pesta besar”, dan dengan kepalsuan tawa riangnya, menyebabkan perut mereka jadi kejang-kejang atau menderita gangguan pernapasan, katanya, “kekesalan membuat situasi semakin parah”

Namun kenyataannya mereka diserang sakit jantung, lalu katanya “Anda harus tetap bersama-sama”, tetapi malah di bahu dan punggung mereka terasa semakin sakit dan nyeri, kemudian katanya lagi, “Ah..mengeluh dan menangis hanya orang yang lemah, akhirnya mereka harus menahan air mata, yang membuat kepala mereka merasa hampir meledak karena terjangkit penyakit migraine akut. Atau mereka malah di bikin mati rasa, menjadi pecandu alkohol atau obat-obatan, sehingga mereka tidak lagi merasakan aku.”

“Oh ya, orang-orang ini memang sering kutemui” Jawab perempuan tua itu dengan penuh keyakinan akan penjelasan Kesedihan.
Gejolak perasaan Kesedihan seperti semakin tenggelam dalam ketidak berdayaanya,
“Padahal aku ini hanya ingin membantu orang lain. Bila aku sangat dekat dengannya, maka mereka itu bertemu dalam membangun rumah dirinya, dengan begitu mereka mampu menyembuhkan luka-lukanya sendiri. Sedih memiliki kulit sangat tipis, dan luka itu rasanya pedih serta menyakitkan. Penderitaan akan berlangsung lama, bila penyembuhan luka parahnya tidak ditangani sampai tuntas,”

Sejenak Kesedihan memandang Perempuan Tua itu, dan menatapnya sedih dengan penuh kekecewaan,
“Ugh..padahal siapa yang mau kubantu, yang tidak menangis akan menjadi nangis sampai mengeluarkan airmata, dengan begitu lukanya benar-benar bisa sembuh. Tapi bagi orang-orang yang tidak ingin kubantu, sebaliknya, malah mentertawakanku dengan bekas luka mereka yang masih memberkas, atau bahkan mereka penjarakan aku dengan lapisan baju besi masa lalunya, penuh dengan penderitaan sangat pahit rasanya…” Kesedihan tiba-tiba terdiam.

Suasana terasa menjadi hening dan mencekam, tak lama kemudian terdengar suara isak tangis Kesedihan. Menangis memang awalnya lemah, namun bisa menguat sampai akhirnya putus asa. Perempuan tua itu lantas mendekatkan tubuh sosok Kesedihan, dirangkulnya dalam pelukannya, lalu dihiburnya Kesedihan dengan kelembutan belaian sentuhannya, serasa dalam jiwa getaran keinginan dari tumpuhan harapannya.
“Menangislah, sedih,” bisiknya penuh kasih sayang. “Ketenangan akan memberimu kekuatan baru, mulai saát ini kau tak akan sendirian. Aku akan memandumu sampai putus asamu tidak lagi berkuasa dalam dirimu.”
Kesedihan tiba-tiba berhenti menangis. Ia duduk dan memandang teman barunya dengan heran, “Tapi ….. tapi .. siapakah kau?”
“Aku?” Tanyanya kembali pada Kesedihan, tiba tiba rambut Perempuan mungil dan tua itu kelihatan semakin memutih, yang kemudian ia tersenyum cerah bagaikan gadis muda yang periang, lalu jawabnya ceria “Aku, adalah Harapan.”

MiRa - Amsterdam, 28 Juli 2010


Cermin Kehidupan Perantau

Tuesday, 15 June 2010 at 03:30

Entah sudah berapa lama kududuk terdiam, menyaksikan gerakan gambar di muka kaca screen tipis, gambar itu bukanlah berupa tayangan cerita filem-filem khayalan seperti filem karton yang bisa bikin hati kita terhibur, bukan pula filem horror untuk membuat orang jadi petakut, juga bukan filem drama kehidupan ala Hollywood atau Bollywood yang bisa menyihir orang jadi ngiler bermimpi punya gaya hidup berglamour ria.

Jarum jam di dinding, berdetak detik demi detik, di keheningan malam sampai menjelang subuh, pukul 03.00 acara penghitungan suara 9 juta dari 12 juta rakyatnya yang punya hak suara dalam pemilu masih di tayangkan di kaca screen di Belanda.

Hasil penghitungan suara pemilu 9 Juni 2010, akhirnya dimenangkan oleh partai Liberal (VVD) dan partai Ultra Kanan (PVV) berhasil menduduki urutan nomor 3 terbesar, masing - masing meraih suara 31% dan 24% dari 75% pemilih. Ini berarti 3,3 juta orang di Belanda, telah menunjukan sikap dukungan dan kepercayaan tehadap tawaran program partai Ultra Kanan, serta mengharapkan berkoalisi dengan sang pemenang partai Liberal dan partai kalah bernama Kristen Demokrat dalam pembentukan kabinet formasi “Kanan-Ultra Kanan”.

Bila ku melihat di lingkungan sekitar hidupku,
di universitas, banyak imigran berpendidikan tinggi,
di jalan- jalan, tercermin kehidupan kaya warna budaya,
di snack bar, makanan lezat, kebab dan pizza ala Turki.
Aku berpikir, tentang bagaimana rupa komposisi masyarakatnya,
nyatanya 1 dari 6 orang di sekitarku tampaknya menjadi anti orang asing,
walau semua orang ingin hidup berdamai tanpa ada rasa takut dan rasa lapar
Ketidak berdayaan adalah suatu yang mengerikan dalam kehidupan sosial,
dan, penyalahgunaan atas ketidak berdayaan membuat situasi semakin gawat!

Pemerintah Belanda, katanya penganut sistim “Parlemen demokrasi”,
negara yang dibangun di bawah air, atas jasa kolonialisme,
mengatas namakan atas kepentingan hak asasi manusia,
membentang lintasan hutan lindung di alam datar.
tidak ada yang berubah, mesin kopi otomat,
terus menguap panas tanpa akhir.

Hembusan nafas angin badai,
menghempas akar rumput,
disepanjang kanal jalan,
disepanjang jalan taman,
di sepanjang jalan keramaian pasar,
disepanjang gang-gang jalanan.

Daun pohon dan ranting, tegar,
menggapai kemilau cahaya mentari,
ulat, cacing, semut hidup nyaman,
di antara himpitan rumput segar,
gerakan sosial menjadi penjerat tikus,
di rumah - rumah kumuh, seperti,
anak jaman terhempas resah, yang,
merindukan pelukan hangat Ibunda,
di alam kesaksian purnama.

Ada tantangan masa depan,
hidup perantau tanpa senyum,
mendesah harapan baru, menyatakan:
“tabahlah, aku selalu bersamamu”

MiRa - Amsterdam, 15 Juni 2010


Misteri Dunia Maya

Oleh MiRa

Di hari sabtu yang cerah kusempatkan waktu bersama seorang temanku berkunjung ke suatu taman. Taman itu bernama Vondelpark, jaraknya tidak jauh dari tempat tinggal kami dan lokasinya di pusat kota dekat Leidseplein. Tamannya memang telah dikenal oleh publik lokal maupun turis dari mancanegara, yang selalu penuh dikunjungi oleh pemuja pohon, bunga, burung dan bebek. Apalagi di waktu musim panas, suasananya selalu meriah dengan acara hiburan, misalnya, live musik dari mulai jenis musik klasik, jazz, salsa sampai dengan musik pop. Juga banyak tempat bermain untuk anak-anak dan acara pertunjukan teater buat anak-anak. Singkat kata, setiap hari di taman Vondelpark suasananya ramai, ceria, asyik dan bersahaja. Alias sederhana tapi keren.

Kami ke taman Vondelpark di saat musim gugur, suasananya lebih tenang serta menyenangkan untuk berjalan-jalan di antara pohon-pohon besar yang usianya sudah mencapai ratusan tahun. Kami menelusuri trotoar beralas daun-daun kering yang telah jatuh berguguran dan menyatu dengan tanah. Cerahnya musim gugur hari ini serasa memberi kenikmatan tersendiri dengan harumnya udara segar di dalam taman.

Setelah berjalan-jalan santai lalu kami memasuki sebuah kafe yang ada di dalam lokasi taman. Kafe Blauwe Lucht (Langit Biru) ini memang sudah lama menjadi tempat tongkrongan favoritku.

Kami memilih tempat di teras balkon tingkat satu dan duduk santai sembari menikmati kehangatan dari pancaran sinar matahari. Padahal suhu udara musim gugur menghembuskan angin dingin. Sejenak kupandang suasana keindahan panorama sekitar danau yang tampak bermetafora dalam mistiknya musim gugur di tengah benua Eropa.

***

Apalagi di waktu musim semi, asyik nongkrong di sini, di sekitar danau suasana indah dan cantik panoramanya. Bermacam warna bunga yang sedang bermekaran di sepanjang pinggiran danau, suara burung-burung berkicau, saling bersautan di antara dahan dan ranting di pohon-pohon besar. Aku pun turut hanyut dalam nikmatnya keindahan nyanyian komunitas unggas, sepertinya kita mendengar irama konser musik merdu berbagai jenis burung-burung yang sedang saling bersaut-sautan mencari pasangan.

Irama musik alamiah ini sudah menjadi obat pelipur laraku dikala duka. Walau pun suara dari bermacam-macam jenis burung itu tidak pernah kumengerti maksudnya.

Aku juga suka memperhatikan bebek-bebek yang sedang berenang kesana kemari, atau lagi saling bersenda gurau dan bermesraan di sekitar danau. Kadangkala aku merasakan kecemburuanku melihat kehidupan para binatang ini, yang nyatanya bisa mendapatkan kesempatan hidup berbahagia dan nyaman dalam menikmati kebebasan hidupnya di taman.

Di taman komunitas unggas ini, mereka sangat bebas, saling bercumbu rayu memadu kasih di tempat umum, mereka tidak peduli lagi dengan masyarakat lingkungannya.

Apalagi bila musim semi tiba, kuingat kembali suasana romantis para binatang itu, sepertinya mengerti makna hidupnya sendiri dalam menikmati prinsip moral kebebasannya. Bebas merdeka dengan citra erotis dan eksotisnya, bercumbu-rayu saling bercengkrama memadu kasih serta bersenggama di tempat favoritnya.

Sesekali terbersit keinginan dalam jiwa romantisku sebagai manusia biasa, untuk bisa memiliki pula cita rasa dan citra moral kebebasan seperti para binatang itu. Kubiarkan diriku hanyut dalam suasana alam lingkungan romantisme dunianya masyarakat unggas. Serasa tak rela diriku melepaskan keasyikan lamunanku memandang suasana ceria di musim semi.

“Rupanya kau lagi happy yah? Koq... kau senyum-senyum tak menentu! Apa karena kau lagi asyik menikmati dunia mayamu itu yah?” tanya temanku Dinda yang membangunkan lamunanku tentang kebahagiaan dunia binatang di waktu musim semi.

“Oooh...d u n i a m a y a?” tanyaku lirih.

“Bukankah kau selalu menyibukan diri dengan dunia mayamu?” tanya temanku lagi sambil menggeser kursinya lebih mendekat ke arah ku. Aku masih belum bereaksi, terbersit dalam pikiranku, mungkin temanku ini sudah menganggapku sebagai orang yang suka berkhayal, ataukah aku ini dianggapnya orang yang hidupnya tidak lagi membumi?

Aku menoleh ke arah temanku seraya tersenyum, namun kurasakan senyumanku kali ini mengandung makna ironis dan absurd.
“Ehm... dunia maya, maksudmu dunia dalam angan-angan? Apa maksudmu hanya dalam masyarakat khayalan belaka? Atau apa ada lainnya yang kau maksudkan?”.
“Lho...bukannya kau berlangganan adsl untuk supaya kau lebih gampang mengakses internet? Lalu, bagaimana kelanjutannya dengan dunia maya mu itu?

Sejenak aku terkejut kaget serta menarik nafas lega. Rupanya ia ingin tahu lebih mendalam tentangku menjadi moderator dari salah satu milisgroup.

“Apakah di alam dunia mayamu itu bisa pula kau nikmati suasana nyaman di taman seperti sekarang ini?” Tanyanya lagi dengan pancaran matanya penuh perhatian.
“Ooh... maksudmu tentang milisgroups? Jawabku singkat seraya memandang kearah panorama danau yang kulihat masih ada beberapa bebek dan burung-burung bersantai ria di sekitar danau.

Kugeser kursiku mendekatinya, akupun baru menyadarinya kembali, rupanya sudah lama kita tak berjumpa. Dalam kesempatan saát inilah kami meluangkan waktu untuk duduk santai di kafé. Kami memang jarang bertemu, tapi cukup teratur berkomunikasi dalam proses pertemanan kami yang sudah berusia lebih dari seperempat abad lamanya.

Masih kuingat kembali proses pengenalanku dengan Dinda. Sejak awalnya kami menjalin pertemanan, kami menyadari adanya perbedaan dalam lingkungan pergaulan. Ia mengambil jurusan elektro teknik sedangkan aku lebih senang bergelut di bidang sosial-politik.

Bahkan temanku ini sudah lebih dulu berkeluarga dan dikaruniai dua orang anak. Kuanggap ia lebih pandai dan sigap mengatur waktu buat dirinya dan untuk keluarganya.

Kehidupan rutinnya sehari-hari, selain menjadi ahli IT ia juga sibuk sekali mengurus suami, anak-anak dan urusan rumahtangganya. Jadi aku tahu persis bahwa temanku ini tidak pernah punya waktu untuk memperhatikan persoalan sosial-politik di Indonesia.

Latar belakang kehidupan temanku ini lain jika dibandingkan dengan kebanyakan orang yang lahir dan besar di Indonesia. Ia dilahirkan sebagai anak tunggal, tapi selama hidupnya di tanah air ia tidak pernah mengenal sosok ayahnya.

Dan baru kemudian kuketahui, bahwa ayahnya di zaman pemerintahan Soekarno adalah salah satu aktivis buruh dari SOBSI, yang sejak tahun 1963 mendapat beasiswa untuk belajar ke luar negeri. Ketika itu ibunya sedang mengandung Dinda. Karena peristiwa Tragedi Berdarah 1965/66, ayahnya tidak bisa kembali ke Indonesia, paspornya dicabut serta diancam akan di tangkap atau dibunuh bila ayahnya kembali ke tanah air. Jadi temanku ini sejak lahir tak mengenal sosok figur ayah di dalam rumahnya.

Ibunya bekerja sebagai guru sekolah dasar di salah satu kota kecil di Jawa Timur, ia dikenal sebagai Ibu yang ramah dan berbudi baik bahkan bisa menyembuhkan orang yang sakit dengan obat-obatan dari ramuan jamu jawanya.

Temanku Dinda tidak suka dengan kehidupan dunia spiritualisme, yang dianggapnya tidak mampu menyelesaikan persoalan kehidupan keduniawian secara nyata.

Apalagi setelah ia bisa bertemu dengan ayahnya dan kemudian keluarganya bisa berkumpul kembali di tanah pengasingan, maka semakin yakinlah ia untuk memilih jalan hidupnya yang selama ini ia yakini dan tekuni.

Namun biar bagaimanapun juga temanku ini menyadari pula bahwa nasib baik dirinya itu belum tentu bisa dinikmati oleh anggota keluarga lainnya, yang sebagian dari anggota keluarganya itu telah dihilangkan secara paksa oleh rezim pemerintahan Soeharto.

Peristiwa Tragedi Berdarah 1965/66 telah menjadi lembaran hitam dalam hidupnya sejak Dinda berusia dua tahun.

"Ya betul, aku masih ingat tentang ceritamu berkenalan dengan figur-figur penulis di milis group itu.” Kata temanku dengan nada antusias, yang membangunkan lamunanku dari rekaman ingatanku pada periode proses perkenalanku dengannya.
“Oooh...maksudmu tentang suka duka dalam milisgroup Sastra Pembebasan? Ya..betul...di situ memang bisa mengikuti bermacam-macam karya tulisan ekspresi diri dari beberapa penulis. Selain karya puisi, cerpen dan esei ada pula karya curhatnya. Juga ada opini maupun informasi yang cukup lumayan menarik untuk di baca. Tentu aku tidak bisa mengenal semua latar belakang para penulisnya di alam nyata.” jawabku untuk memancing obrolan.
“Jadi kau sudah mulai terbawa hanyut menikmati karya tulisan beberapa anggota milisgroup itu?” Tanyanya lagi.
“Yah...ada beberapa karya tulisannya yang sudah kukenal sejak masa pemerintahan rezim Soeharto. Tapi setelah Soeharto Lengser di tahun 1998 ternyata ada beberapa penulisnya telah berani untuk merubah nama palsu ke nama asli tanpa mengubah visi dan misi karyanya. Ada beberapa penulis yang kuanggap masih tetap kritis dan bermutu tapi pendapatnya masih ada pula yang mencerminkan keberpihakan isu-isu politik-ideologi kepentingan warisan kekuasaan Orde Baru”.
“Oooh...lalu mengenai penggunaan nama palsu dalam dunia maya, bukankah sudah dianggap biasa dan wajar?” Tanya Dinda seraya melirik ke arahku.
“Ya...tentu saja sudah dianggap wajar, rupanya sudah mulai membudaya di dunia maya. Ada pula yang menggunakan nama sampai lebih dari 10 nama palsu hanya dengan maksud tujuan tertentu. Sebenarnya akupun tidak peduli dengan alasan-alasannya memakai nama palsu, asalkan karya tulisan mereka itu mampu menginspirasikan wawasan pemikiran baru buat proses pencerahan dan perubahan di Indonesia.”
“Kemarin ini aku baca di data informasi CIA melalui google.com, katanya jumlah pengguna internet di Indonesia kira-kira ada 13 juta orang dan pengguna HP hampir mencapai 82 juta orang. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia 240 juta orang. Untuk bisa mengakses internet di Indonesia, kupikir masih merupakan suatu kemewahan biarpun dimana-mana ada fasilitas warnet. Apakah semua anggota milisgroupsnya itu dari Indonesia?“
“Setahuku memang ada pula anggotanya dari luar Indonesia.” Jawabku seadanya sembari memandang sejenak ke temanku, kulihat dari pancaran matanya seperti ingin tahu lebih banyak tentang cerita pengalamanku menjadi salah satu anggota moderator milisgroups.
“Ada kenalanku yang pernah cerita padaku, ia menganggap kehidupan dunia maya itu bisa menciptakan suatu masyarakat tersendiri. Menurut ceritanya, ia sangat menikmati suasana asyik buat mendekatkan dirinya dalam keinginan untuk menyalurkan nafsu dan angan-angannya.”
“Maksudmu angan-angan apa? Tanyaku heran sembari menoleh ke arah temanku.
“Yah.. angan-angan keinginan khayalannya yang bisa di refleksikan secara bebas tanpa batasan. Rupanya ia itu sudah menjadi candu penikmat hidup lawan jenisnya di dunia maya. Karena bagian dari kebebasan yang diyakininya, tidak dapat di ekspresikan di alam dunia nyata tapi bisa dilakukannya di dunia maya.”
“Ooo...itu maksudmu ....”
“Bukankah sarana internet sudah dianggap lebih mudah dan praktis buat menyalurkan keinginan selera para pengguna internet? Tanya temanku lagi.
“Akupun tak bisa menyangkal bilamana ada seseorang yang punya hobby menulis pada akhirnya ia bisa mendapat pengakuan sebagai penulis terkenal yang berpengaruh dalam dunia maya.” Kataku kemudian untuk mengalihkan tema pembicaraan yang kuanggap bukan interesku.
“Ehm..maksudmu karya tulisannya di milisgroups bisa dikenal pula sebagai penulis di media cetak?” tanya temanku yang rupanya mulai paham dengan maksud uraianku tadi.
“Kenapa tidak, kalau karya tulisannya juga disenangi oleh banyak orang? Bukankah tujuan dari hobbynya sebagai penulis tidak bertentangan dengan keinginannya? “ tanyaku seraya menatap temanku tajam tapi dengan senyum bersahabat.
“Ya betul....tapi bukan berarti tidak ada kebahayaannya lho! Kan kau tau bahwa pengertian dan pemahaman kode etik kebebasan akhirnya tak terbatas dalam standard moral masyarakat global. Bukankah kau sendiri sudah tahu bahwa setiap orang tidak bisa berbuat semaunya di dunia kopi-darat?”
“Jadi maksudmu, misalnya soal seks, berselingkuh dan kejahatan seksual terhadap anak-anak?”

Dan kamipun tenggelam dalam perdebatan tentang efek negatip dari teknologi tinggi berjudul internet, yang memang sangat populer sebagai mainan baru buat orang yang suka bermain kosa-kata di taman bernama dunia maya.

***

Suasana akhir pekan di kafe Langit Biru terasa sangat tenang, hanya suara keramaian kicau burung yang memecah keheningan, kuanggap suasana seperti ini menandakan tak lama lagi matahari akan mulai terbenam. Sesaát kemudian aku menoleh dan memandang ke arah temanku itu, ia juga sedang asyik duduk santai sembari memandang ke arah danau. Kubiarkan ia hanyut dalam nikmatnya suasana tenang nan nyaman, begitu pula denganku yang sudah enggan untuk terus mengobrol.

Hawa panas dari pemanas gas tabung di sekitar tempat duduk kami pun masih tetap membara apinya. Sehingga suasana kehangatan menambah rasa nyaman duduk di teras kafe, biarpun kadang-kadang hembusan angin dingin menyelusup ke tubuhku melalui sela-sela bajuku.

Sejenak kuingat kembali rekaman cerita pengalaman teman kerjaku yang menjadi pecandu dunia maya. Kesan awalku dalam mengenal kolegaku yang bernama Jamilia ini memang menyenangkan. Ia selalu kelihatan santun dan ramah biarpun sikapnya sedikit menjarak di lingkungan sekerjanya. Ia di kenal pula sebagai sosok pekerja keras, serta tekun dan teliti dalam melakukan tugas-tugas pekerjaannya.

Jamilia berasal dari keluarga Islam yang hidupnya sangat dipengaruhi tradisi Budaya Arab. Padahal ia lahir di Belanda tapi selalu menyebut dirinya berasal dari Afrika Utara. Wajahnya cantik dan selalu kelihatan cerah tanpa polesan kosmetik. Dengan cara ia berpakaian tercermin seperti seorang perempuan alim, biarpun pilihan model pakaian yang dikenakannya tak pernah itu ketinggalan zaman.

Suatu kali aku di undang berkunjung kerumahnya dan ternyata dirumahnya ia tidak memakai jilbab. Rambutnya yang ikal dan hitam begitu indah terurai panjang sampai sepinggang. Terlihat wajahnya cantik, bulu matanya lentik, bibirnya merah sexy menarik, tampak lain sama sekali jika ia lagi berdandan. Sehingga ekspresi pancaran matanya yang tajam memiliki daya tarik sensuil tersendiri. Model gaun pakaiannya bergaya menantang dengan warna kulitnya yang kuning langsat, dan tidak lagi mencerminkan tata cara berpakaian sederhana di tempat kerjanya.

Kedatanganku berkunjung ke rumah teman kerjaku ini sangat disambut baik olehnya. Jamilia tahu pula tentang diriku yang berasal dari Indonesia dan beragama Islam. Lantas aku dibawanya ke ruangan kamar berukuran 4 kali 5 meter, lengkap dengan tata ruangan interiurnya yang indah sesuai dengan seleranya. Di situ ada komputer lengkap dengan webcamenya. Dengan tenangnya ia bercerita tentang nama palsunya yang telah menjadi nama favorit buat menyalurkan fantasinya, untuk memainkan peranan sebagai figur idaman kaum lawan jenisnya. Mendengar uraian ceritanya, aku menjadi terkejut, rupanya teman kerjaku ini adalah salah satu pemain di dunia maya.

Ketika itu aku masih belum mengerti banyak tentang kehidupan dunia maya, yang disebut juga sebagai masyarakat informasi global. Dan nyatanya, buat teman sekerjaku ini, bermain di dunia internet adalah menghalalkan segala cara serta gampang buat merealisasikan keinginan untuk menyalurkan kebebasan dirinya secara optimal. Sempat pula aku menanyakan alasan penggunaan nama palsu di dunia maya, yang menurutnya berguna buat melindungi dirinya. Juga, berguna buat membebaskan keinginan dirinya dari cengkraman tradisi keluarganya yang sangat otoriter dan konservatip pandangannya.

Dalam suatu perdebatan dengan Jamilia, kami membahas pula tentang peranan media cetak dan televisi Belanda, yang pemberitaannya mengenai persoalan peranan internet dikaitkan dengan kasus penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan anak-anak di bawah usia 15 tahun.

***

“Eeeeh....lamunanmu sudah nyampe mana nih! Koq aku di gratisin sih?” tanya Dinda tiba-tiba membangunkanku dari ingatanku ketika berkunjung ke teman kerjaku.
“Yaaah.... jadi menurutmu hidup itu memang selalu ada enaknya dan ada tidak enaknya kan? Dimana saja kita hidup, persoalannya tetap sama, entah itu di dunia nyata ataupun di dunia maya.” Kataku sambil memandang burung-burung, yang sedang berlomba mencari tempat berteduh di antara ranting dan dahan.
“Bukankah menurut ceritamu dunia maya sangat interesan bagi dirimu? Barusan kau bilang bahwa kau mengagumi karya atau opininya dari beberapa penulis, walaupun kau tidak mengenalnya di dunia nyata?”
“Teks itu bicara jadi kalau karya tulisan seseorang sudah digemari oleh pembaca, itu berarti karyanya dinilai bagus dan pastinya akan dihargai oleh publik pembacanya”. Jawabku seadanya.
“Ehm..ya apalagi dengan adanya Facebook, jadi lebih jelas buat orang untuk bergaul dan saling mengenal antar warga dunia.”
“Asal jangan kita lupakan bahwasanya internet adalah hasil kreasi manusia yang didasari oleh keinginan kebebasan individu tanpa memperdulikan akibatnya buat orang lain.”
“Ya, itu yang kumaksudkan... "

Sementara aku masih duduk terdiam sambil melihat ke arah alat pemanas yang pancaran bara apinya sudah mulai meredup. Namun kurasakan pula seketika suasana santai menjadi sirna, dan kupikir perbincangannya telah selesai. Saat aku menoleh ke arah Dinda, kulihat wajahnya pucat-pasi, badannya yang ramping dan indah itu mulai kelihatan seperti menggigil kedinginan. Pancaran matanya pun yang biasanya jernih dan cemerlang kelihatan sudah mulai redup dan layu. Aku baru menyadarinya, suhu udara di teras sudah mencapai 5 derajat celsius.

Aku beranjak dari dudukku dan langsung berdiri lalu mengajak temanku untuk masuk ke dalam kafe. Ia pun bangkit dari tempat duduknya serta ikut masuk. Sesampainya di dalam ruangan kafe kami mengambil tempat duduk dekat jendela supaya tetap bisa menikmati pemandangan di sekitar danau, kulihat cahaya remang-remang dari sorotan sinar pancaran bulan purnama yang turut menghiasi suasana malam itu.

Waktu hampir menunjukan jam setengah delapan malam dan di ruangan kafe hanya kami berdua bersama seorang pelayan yang sedang berdiri di belakang bar. Sementara temanku masih duduk merunduk, sekali-kali ia memandangku dengan pancaran matanya yang tajam, kali ini tatapan terkesan seperti aneh dan tidak bisa lagi kupahami apa maksudnya. Aku mulai khawatir, apa sebenarnya yang sedang dipikirkannya? Tiba-tiba pelayan bar berdiri di depan meja kami, langsung aku memesan dua coklat susu dan erwten sup spesial lengkap dengan roti perancisnya.

Tak lama kemudian pelayan itu kembali dengan membawa pesanan kami. Dengan asyiknya temanku melahap habis supnya, sedangkan aku masih duduk tenang sembari perlahan-lahan menikmati rasa sup kesenanganku itu.
“Apa kau tidak menyadarinya bahwa prinsip kebebasan tak terbatas dalam dunia maya itu, nyatanya semakin banyak pula peningkatan kejahatan dan kriminalitas? ” Tiba-tiba tanyanya seraya menatapku dengan raut wajah serius.
“Ehm..ya aku tau itu, akibatnya ada peningkatan kasus pedofil melalui jaringan internet dalam persoalan kejahatan seksual anak-anak di bawah usia 15 tahun.”
“Nah..itulah yang kumaksudkan, semakin marak saja para pedofil dan pecandu konsumsi seks anak-anak lewat internet! Pernah pula kubaca di koran-interaktip Indonesia yang memberitakan kasus kejahatan pedofil bule di Indonesia.” jawabku cepat supaya temanku itu tetap bersemangat untuk berdebat soal pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
“Rupanya tak peduli lagi kau berada di dunia maya atau di dunia darat, nyatanya kematian tragis Theo van Gogh bisa pula terjadi dimana-mana.”
“Lho...lalu apa kaitannya antara dunia maya dengan terbunuhnya sineas Theo van Gogh?” tanyaku penasaran.
“Maksudku setelah kejadian kasus tragedi pembunuhan Theo van Gogh menjadikan banyak orang merasa dirinya tidak nyaman bahkan merasa tidak aman di jalan?”
“Oooo itu maksudmu....”
“Bukankah kita juga mengalaminya sendiri di sekitar lingkungan hidup kita sehari-hari? Misalnya, seorang teman kita telah mengalami diskriminasi ketika sedang melamar kerja.”
“O iya betul, ironisnya lamaran kerjanya langsung di tolak ketika manajernya tahu bahwa ia itu bukan orang Belanda bule. Padahal dalam surat lamarannya, tercantum nama keluarga dari ayah tirinya yang memang aslinya Belanda totok. Bukankah itu merupakan pengalaman absurd di abad ke 21 ini?” Jawabku seadanya sambil menyantap supku yang kumakan sampai habis tak tersisa lagi.

Tak lama kemudian aku beranjak dari kursiku, maksudnya untuk membayar, tapi pelayan kafenya sudah berdiri di depan meja kami sambil menyerahkan bonnya. Dengan cepatnya temanku lalu menyodorkan uangnya seraya mengatakan, “Toh, akhirnya kita semakin mengerti makna arti kebebasan itu. Kitapun sudah menyadarinya pula bahwa kasus tragedi kematian Theo Van Gogh adalah kelanjutan dari kasus kematian figur politisi populis anti orang asing yang bernama Pim Fortuyn. Kau pun tahu Pim itu selain seorang homofil, ia juga berhasil membangun partai sendiri dengan massa pendukungnya yang berasal dari golongan pengikut rezim fasis Hitler.”

“Ya...tentu tidak mengherankan kalau mereka itu bersikap merendahkan golongan minoritas di dalam negerinya, padahal orang asing turut menyumbang proses pembangunan ekonomi Belanda, dengan melalui wajib bayar pajak sebesar 32% dari gaji bulanan hasil keringatnya. Bukankah itu sudah merupakan bukti sumbangan kita dari golongan minoritas, yang hidup berintegrasi 100% di masyarakat Belanda? Lalu, kenapa jasa kita sebagai penyumbang pembangunan ekonomi Belanda tidak pernah mendapat penghargaan secara adil dari pemerintahan Belanda?” Jawabku sembari beranjak dari dudukku serta langsung berjalan menuju pintu keluar kafe.

Sejenak aku menoleh ke arah temanku yang telah bangkit pula dari tempat duduknya lalu berjalan menghampiriku, kemudian kami berjalan menuju pintu luar taman. Sepanjang perjalanan, temanku tak henti-hentinya bercerita. Rupanya ia semakin kritis melihat sikap pemerintahan Belanda terakhir ini terhadap rakyatnya, yang dianggapnya tidak lagi manusiawi dalam menanggapi persoalan-persoalan ketegangan sosial di dalam negerinya.

Sebelum kami berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing, temanku masih sempat berceloteh, bahwa rakyat Belanda pun sudah mengakui daging halal itu baik buat kesehatan, banyak dijual di toko-toko golongan minoritas, pada akhirnya toh pemerintah Belanda terpaksa tunduk pada kepentingan dan kebutuhan isi perut rakyatnya.

Amsterdam - Musim Gugur 2009


Awas Copet!!!

Oleh MiRa

Pada hari Senin lalu, waktu telah menunjukan jam setengah empat petang. Kurasakan cuaca hari itu cukup cerah dan ceria buat musim gugur di Amsterdam. Biasanya seusai kerja aku langsung pulang kerumah, namun kali ini aku berencana akan mampir ke rumah temanku untuk sekedar kongkow-kongkow sembari minum kopi. Dan, tempat tinggal temanku itu pun tak jauh dari Dappermarkt.

Dappermarkt, yang artinya Pasar Berani, di kenal sejak tahun 1910 sebagai salah satu pasar terbesar setelah Albert Cuypmarkt, Ten Katemarkt dan Lindenmarkt.

Sejak awal abad 21 pengunjung Dappermarkt rupanya semakin meningkat dari kalangan rakyat lokal Belanda karena memang pasarnya di anggap merakyat di lingkungan sekitar lokasi di jalan Dapper - Amsterdam Timur. Jadi tak heran kalau pasar Dapper tersebut mendapat penghargaan selama 2 tahun, berturut-turut sebagai pasar terpopuler di Belanda.

Barang-barang dagangannya yang ditawarkan buat kebutuhan se-hari-hari itu memang di jual dengan harga "murah-meriah-meledak". Maksudnya barang-barang yang dijual itu selain harganya murah dan bervariasi, juga di jamin berkualitas produknya. Bagi para konsumen berpendapatan rendah pun menganggap Dappermarkt jadi pasar favoritnya untuk berbelanja kebutuhan hidup sehari-harinya.

Dappermarkt di kenal pula sebagai pasar penampungan barang-barang dagangan bermerk alias bertaraf internasional. Misalnya gaun malam yang chic, pakaian untuk anak-anak yang lucu-lucu, sepatu, tas dan sampai celdalnya pun tak kalah hip-nya dengan barang-barang yang dijual di pusat pertokoan mahal seperti di P.C. Hoofstraat maupun di Kalverstraat.

Dari pakaian yang model hip al'a muslim sampai model pakaian modern bisa di beli di Dappermarkt. Belum lagi kalau ada konsumen yang ingin beli kebutuhan dapurnya, seperti panci, penggorengan serta alat-alat dapur lainnya dengan kualitas yang lumayan bagus.

Sayuran, buah-buahan serta beragam daging atau ikannya yang segar juga menarik perhatian para konsumen berpenghasilan rendah, apalagi bila ingin membeli barang-barang kebutuhan anak-anaknya. Selain harganya lebih murah, mulai dari pakaian, celana, jaket, sepatu, kaos kaki sampai mainan anak-anak, persediaannya paling lengkap serta pula bervariasi modelnya. Maka banyaklah Ibu-Ibu rumah tangga membawa anak-anaknya mengunjungi Dappermarkt untuk membeli kebutuhan anak-anaknya.

Suasana pasarnya pun selalu meriah dan ceria, terpajang rumbai-rumbai aneka warna dengan memakai lampu-lampu beraneka warna. Diantara pajangan dan rumbai-rumbai itu terselip pula sebuah bentangan spanduk peringatan "Awas Copet!, perhatikan tas atau dompet anda, jangan sampai hilang". Sehingga lokasi pasar Dapper, yang berada di sepanjang jalan Dapper antara batasan Wijttenbachstraat dan Mauritskade tercermin seperti suasana pesta perayaan.

Beberapa petugas keamanan pun berlalu-lalang di sepanjang jalan pasar "Dapper". Sehingga para konsumen, yang berdatangan dari berbagai luar kota Amsterdam merasa aman, nyaman dan sahaja.

Serasa bagaikan suasana pesta jalananlah! Dan, yang paling berkesan buat para pengunjung pasar ialah suasana keramah-tamahan dari para pedagangnya, yang memiliki keuniekan tersendiri sebagai ciri khas pasar Dapper yaitu baik para konsumennya maupun para pedagangnya berasal dari beragam bangsa dengan semangat internasionalisme.

Cuma jangan bingung, kalau melihat "made in" barang-barang dagangannya itu di impor dari China, selain itu juga ada produknya dari Inggris, Italy, Spanyol, Turky, Marokko, India dan Pakistan. Singkat kata, Dappermarkt yang berarti Pasar Berani itu mampu menunjukan kesan suasana kehidupan "multiculturalisme" alias internasionalis berciri khas Amsterdam.

Penduduk Belanda menyebutnya sebagai suasana "Het Kleuren Rijk" (kekayaan warna). Yang maksudnya adalah kehidupan bertoleransi antar bangsa pendatang dan penduduk asli di Belanda, nyatanya telah mencerminkan barbagai macam budaya campuran bangsa inklusip bahasa dan warna kulitnya.

Akhirnya untuk menuju arah rumah temanku, aku menyempatkan waktunya buat sejenak berjalan-jalan sembari menuntun sepedaku menyusuri sepanjang jalan pasar "Dapper", yang terkenal itu. Melalui Dappermarkt tentunya akan lebih singkat pula waktunya buatku berkunjung kerumah temanku , yang lokasinya di sekitar daerah Amsterdam Timur.

Aku mulai berjalan dari arah Mauritskade menuju arah Wijttenbachstraat, yang tasku kugantungkan di stang stir sepeda sebelah kanan. Sedangkan aku berjalan disebelah kiri sepedaku, sambil tangan kananku memegang stang sebelah kanan. Dengan santai dan rasa nyamannya aku berjalan menyusuri jalanan Dappermarkt sembari arah mataku melihat ke bentangan pajangan barang dagangan di bagian kiri maupun sebelah kanannya.

Ketika aku sedang melihat serta memperhatikan tenda disebelah kanan, aku terhenyak sejenak karena terpancang pada jas-jas untuk musim dingin yang tergantung di salah satu tenda. Kemudian aku berhenti sejenak untuk melihat model jasnya, lalu aku mulai menghampiri serta mendekati tenda tersebut. Mulailah aku memperhatikan dan menyimaki pajangan berbagai model jasnya. Lalu, kemudian dengan asyiknya aku meneliti ukuran jas serta warna yang kupikir pas dengan seleraku.

Tiba-tiba seorang Ibu setengah tua menyapaku supaya aku menggeser sepedaku karena di anggap sepedaku menghalangi ruangan tempat tumpukan jas di atas meja panjang. Aku tertegun sejenak sembari cepat menggeserkan sepedaku itu.

Namun tanpa kusadari rupanya tangan kananku pun yang ketika sedang memegang stang stir kanan sepedanya, ternyata sudah beralih ke tumpukan jas-jas tersebut. lalu aku cepat melihat kembali ke arah stang stir sepeda sebelah kanan yang rupanya tasku tak lagi bergantung di stang kanan sepedaku.

Aku menjadi panik serta langsung berseru keras: "mana tasku!!! Tasku hilang di copet!!!" Sementara beberapa pembeli, yang sedang asyik memilih jas-jas itu mengalihkan perhatiannya ke arahku serta kelihatan terkejut dan turut panik pula. Salah satu pedagangnya pun turut menyibukan dirinya yang langsung menghampiriku sambil berseru: "Taruhlah sepedamu di disini dan cepat lah kejar pencopetnya!!!" Tanpa berpikir lagi, aku langsung melepaskan sepedaku, lalu berlari menuju jalan pasar ke arah Wijttenbachstraat, sedangkan sesama kolega pedagang lainnya turut berlari menuju arah berlawanan dari jalan pasar, yaitu ke arah Mauritskade.

Beberapa meter kemudian kulihat dua orang agen polisi dari keamanan sedang berjalan menuju ke arahku. Tapi aku tak peduli serta terus berjalan cepat hampir setengah berlari ke arah pencopetnya. Sementara aku masih tetap berteriak keras ke si pencopetnya di sepanjang Dappermarkt. Dengan tenangnya ke dua agen tersebut menghadangku untuk supaya aku berhenti mengejar pencopet tasku. Terpaksa aku berhenti sejenak, yang kemudian salah satu dari petugas keamanan itu mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan sambil mengeluarkan buku catatan kecil: "Ada apa gerangan, kau kehilangan tasmu? Dimana kau kehilangan tasnya? Apa kau tahu identitas pencopetnya? Warna apa tasmu dan apa saja barang-barang yang ada di dalamnya?" Mendengar pertanyaan petugas keamanan yang bertubi-tubi itu, aku semakin merasa panik dan terganggu karena aku tidak bisa lagi mengejar pencopetnya, yang memang tak kuketahui identitas sang pencopet itu.

Kurasakan situasi kepanikanku sudah mulai agak mereda. Walau pun rasa amarahku pada ke dua agen polisi tersebut belumlah sirna, sejenak aku memandang kesalah satu polisi agen, yang terus sibuk mengajukan banyak pertanyaan, lalu polisi agen lainnya menegurku dengan ramah: "Ok..sekarang kau tunjukan kami dulu dimana kau kehilangan tasmu? Dan rupanya kau tak tahu pula identitas si pencopetnya...".

Aku mengangukkan kepalaku sambil berjalan cepat menuju tempat sepedaku, yang sedang diamankan oleh si penjual jas. Aku menunjuk ke arah tenda penjual jas tersebut, dan sementara itu salah satu penjualnya menghampiriku dan memberikan sepeda ke aku.

Lagi-lagi aku musti menjawab urutan pertanyaan-pertanyaan itu, yang lantaran dianggap penting dengan hilangnya tasku di pasar "Dapper" itu. Sembari menjawab urutan pertanyaannya itu, aku melirik pula kearah kertas kecil polisi agen yang kulihat hanyalah ada tulisan urutan nomor urut dan kasus kehilangan barang. Di daftar catatan tersebut, rupanya kasusku itu ada di urutan ke 8. Selebihnya tak ada catatan-catatan singkat lainnya yang sehubungan dengan rentetan jawaban dari sang korban kecopetan.

Secara sepontan aku memprotes cara kerja polisi itu. "Untuk apa aku menjawab pertanyaaan-pertanyaanmu kalau kau tidak catat dalam buku kecilmu itu? Bukankah itu hanya membuang waktu saja?" tanyaku dengan wajah yang serius campur kesal.

"Tentunya informasi jawabanmu sangat penting buat kami, karena kami dari kantor kepolisian Linnaeusstraat dan kau sekarang ini langsung saja melapor ke kantor polisi terdekat rumahmu".

Aku segera pergi meninggalkan ke dua agen polisi itu, menggenjot sepedaku ke arah kantor polisi yang lokasinya tak jauh dari rumahku. Sesampainya aku di kantor polisi tersebut, aku hanya diberi saran supaya langsung cepat pulang kerumah untuk menelpon guna memblokade jaringan telepon genggam. Karena didalam tasku yang dicopet itu antara lain ada telepon genggam dan dokumen kertas laporan kerjaku. Selanjutnya bapak keamanan tersebut menyampaikan pesannya agar aku kembali ke kantor polisi untuk memberi laporan kecopetan.

Semua rencanaku di hari ini gagal total, dengan lesu aku menggejot sepedaku menuju arah rumah, sedih rasanya kecopetan, dasar copet sialan, bukannya nyopet orang kaya, malahan nyopet sesama proletar juga, payah!

Amsterdam, 20 November 2008


Duri Ikan dan Dokter Gigi

Oleh MiRa

Terpaksa Aisyah harus minta izin dari tempat kerjanya untuk pergi ke dokter gigi langganannya. Karena tambalan gigi gerahamnya yang baru berusia 3 bulan itu ternyata copot gara-gara makan kacang favorit bernama pistatjes.
Seusai menambal gigi rupanya Aisyah disarankan membuat janji untuk minggu depan, yang katanya harus dilakukan kontrol rutin buat pemeliharaan dan perawatan giginya.

Pada waktu kedua kalinya Aisyah datang ke dokter giginya kembali, karang-karang gigi yang dianggap berpotensi merusak kesehatan giginya dibersihkan, sakitnya luar biasa. Setelah selesai dari penanganannya Aisyah langsung melihat ke kaca cermin, maksudnya ingin menikmati giginya yang diharapkan menjadi bersih serta terbebaskan dari guratan hitam di sepanjang lintasan gigi-giginya itu. Namun terlihat di beberapa giginya koq masih sama saja. Lalu Aisyah bertanya mengenai guratan hitam yang tetap terpajang di sepanjang sela-sela gigi depannya.

"Ooh...itu cakal bakal lobang yang nantinya harus ditambal tapi kalau kau mau segera ditangani, bikin janji saja untuk minggu depan. Sekaligus gigi-gigimu itu ku bikin cantik," jawab sang dokter giginya.

Dengan rasa penasaran bercampur senang Aisyah bersedia bikin janji lagi untuk ke tiga kalinya lantaran "katanya" giginya akan dipercantik. Memang sudah menjadi impian Aisyah untuk mendapat perawatan "kecantikan gigi" biarpun urusan penanganan kecantikan gigi tidaklah termasuk dalam pakait rutin fasilitas perawatan gigi yang biasanya dilakukan pada setiap 6 bulan sekali. Untuk itu Aisyah menyanggupi pula membayar ekstra cost, di luar penggantian asuransi kesehatan yang disebut sebagai peraturan "bedrag eigen risico".

Minggu ketiga Aisyah mendatangi dokternya untuk siap dipercantik giginya. Dengan sibuknya sang dokter memphoto barisan gigi-giginya dan kemudian menggarap serta memoleskannya dengan berbagai hasil campuran ramuan obat-obatan. Supaya nantinya senyum tawa riang Aisyah bisa terlihat menjadi bersinar, menarik dan cantik.

Setelah proses penanganan yang memakan waktu selama satu jam itu selesai, kemudian Aisyah diberi kaca cermin untuk melihat hasilnya. Memang barisan gigi depan terlihat bagus dan indah, namun Aisyah ternyata tetap merasa tidak puas serta menyatakan nasib guratan hitam di bagian belakang gigi-gigi depannya masih terlihat menyeramkan.

"Khan dua minggu lalu sudah di bersihkan semua jadi kalau sekarang hitam lagi itu karena cepatnya proses pengkarangan gigimu. Kalau kau masih belum juga puas bikin janji saja di bulan mendatang," jawab sang dokter dengan singkat sambil melihat ke jam dinding.

Dengan rasa tidak puas Aisyah meninggalkan ruang praktek kerja dokter giginya tanpa mengucapkan kata-kata. Dalam perjalanan menuju pulang ke rumah hati Aisyah masih terasa gundah bercampur bingung serta heran melihat perubahan langgam kerja dokternya.

Padahal sudah 5 tahun menjadi dokter gigi kepercayaannya. Prestasi kerja dokter giginya ternyata tidak lagi seperti dahulu, bahkan sambutan senyuman ceria ke pasien-pasiennya pun dianggap telah sirna. Aisyah menganggap obsesi keahlian dokter giginya tidak tercermin lagi pada kualitas prestasi kerjanya. Biasanya dokter giginya selalu kelihatan antusias dan penanganannya pun teliti serta penuh kesabaran dalam merawat gigi para pasiennya.

Padahal dengan kebijakan sistim asuransi kesehatan yang baru para pasien bisa menjadi lebih bebas memilih dokter-dokternya yang dianggap memiliki kualitas tinggi. Dengan demikian para dokter pun mesti mampu pula berkompetisi sebagai ahli merawat kesehatan gigi untuk menjamin kepercayaannya terhadap para pasien.

Dua minggu kemudian gigi Aisyah mulai sakit lagi dan kemudian terlihat gusi di antara gigi depannya membengkak. Dirasakannya seperti ada "duri ikan" yang tertancap di antara sela-sela gusi gigi atasnya. Memang terakhir ini Aisyah sering makan ikan lantaran gara-gara terkena pengaruh ekses berita news televisi, yang menayangkan bahaya penyakit "Flu burung" dari daratan Asia.

Sebenarnya Aisyah tidak peduli dengan bahaya hembusan virus penyakit flu burung itu yang telah mulai menjangkit ke daerah perbatasan Europa yaitu Negara Turki. Buat Aisyah tidak ada pilihan lain kecuali memilih menu makanan ikan, tahu atau tempe. karena dengan memakan makanan kesukaannya, semangat makannya tidak menjadi terhambat akibat sakit giginya. Namun toh Aisyah telah memutuskan untuk sementara waktu tidak lagi membuat janji pada dokter gigi karena rasa kesal dan kecewanya terhadap dokter giginya.

Selama dua minggu lamanya Aisyah tidak bisa menikmati hidangan makanan yang dibuatnya sendiri meskipun secara perlahan rasa sakit giginya mulai pulih kembali. Setelah sebulan Aisyah berhasil melupakan rasa kecewanya terhadap dokter giginya biar pun tetap merasakan “duri ikan” yang masih tertancap di sela-sela gusi giginya. Usaha ketidak peduliannya terhadap tancapan duri ikan di gusinya membuat hidup rutin keseharian kerja Aisyah tidak lagi merasa terganggu.

Pada akhirnya Aisyah memutuskan untuk meminta cuti liburan musim dingin dari kerjanya selama sebulan. Keputusan mengambil cuti liburan tersebut tentunya dimaksud bisa menghibur dirinya yang sekaligus pula ingin menyembuhkan penyakit kangennya untuk berkunjung ke tanah kelahirannya. Selama berada di tanah air Aisyah masih tetap merasa terganggu terhadap "duri ikan" yang masih menancap disela-sela giginya namun alhamdulillah masih bisa ikut serta menikmati hidangan makanan lezat.

Sekembalinya Aisyah dari tanah airnya, eh, serangan duri ikannya kembali gencar, rasa sakit nyeri semakin memuncak bahkan gusi giginya pun mulai membengkak lagi. Waah....pikirnya kali ini Aisyah harus bikin janji dengan dokter gigi tapi ia ingin dokter lain yang kebetulan alamat tempat prakteknya tidak jauh dari rumah tinggalnya.

Sesuai hari yang sudah dijanjikannya Aisyah mengunjungi dokter gigi barunya dengan membawa cerita bahwa ada duri Ikan nyangkut di gusi giginya sehingga menjadi bengkak. Dikatakan pula bahwa duri ikannya sudah tertancap dalam gusinya sebelum dia berangkat liburan ke tanah kelahirannya.

Dokter giginya bingung sambil garuk-garuk kepala, "wah...komputerku lagi storing nih jadi mesti menunggu beberapa menit lagi...sementara itu gigimu aku bersihkan dulu yah? Sepertinya sudah tahunan gigimu tidak dibersihkan sehingga aku enggak bisa lihat duri ikan yang nyangkut di gusi gigimu." Jawabnya sembari sibuk mempersiapkan peralatannya untuk membersihkan gigi Aisyah.

Aisyah kaget mendengar keterangan dokter barunya serta cerita bahwa giginya baru tiga bulan yang lalu mendapat perawatan dari dokter gigi langganannya. Bahkan dia sempat pula mempercantik gigi depannya.
"Dokter mana? Maksudmu dokter gigimu di Indonesia?" tanya pak dokter sambil menyibukan diri membersihkan gigi-giginya Aisyah.
"Aaah ... auuuu," jawab Aisyah singkat seraya menahan rasa nyeri seperti disiksa.
"Oooh...sepertinya sudah puluhan tahun lamanya gigimu ini tidak terurus, sampai tumpukan karangnya menyerang akar-akar gigimu sehingga gusinya menjadi infeksi dan meradang. Kalau gitu gigimu aku photo semua ya?” jawabnya lagi sambil sibuk menusuk-nusuk catoknya di sepanjang batasan antara gigi dan gusi Aisyah yang lagi nyeri dan perih-ngilu.

Lalu pak Dokternya sibuk memotret gigi Aisyah dengan posisi pengambilan dari berbagai sisi kiri sampai ke sisi kanan maupun dari sisi gigi atas ke sisi gigi bawah. Rupanya posisi gigi Aisyah telah menjadi fokus perhatiannya bagaikan foto model saja. Sementara itu terlihat pula di kaca monitor, yang menunjukan hasil potret dari berbagai posisi giginya yang dianggap bergaya elok nian!

Setelah selesai dibuat photo lantas pak dokter menjelaskan sambil menunjuk kearah monitor komputernya: "Ternyata yang terlihat dari hasil photonya bukan duri ikan tapi akar gigi dari gigi lamamu yang numbuhnya nyasar keluar menembus gusimu. Saya tidak tahu kapan gigi lamamu itu dicabut. Aku pun tidak tahu apakah gigi lamamu yang dicabut itu berasal dari gigi susu sehingga akar gigi yang tertinggal numbuh terus diantara dua gigi cantikmu itu. Juga ada dua gigi lainnya harus pula segera dicabut lantaran sebenarnya sudah lama sekali membusuk tertimbun karang gigi yang telah menumpuk. Bahkan beberapa gigi gerahammu yang telah ditambal itu ternyata cara menambalnya tidak benar akibatnya akar gigimu numbuhnya tidak sehat dan akhirnya menjadi infeksi pula. Kalau akar gigimu tidak cepat ditangani secara serius bakalan dalam waktu dekat gigimu copot semua tuh ".
"Waah...jadinya gigiku ini mesti direkonstruksi dan direparasi ulang kembali ya?" tanggap Aisyah sembari beranjak cepat dari duduknya.
"Ya betul, dan rupanya gigimu ini sejak masa kecil ditelantarkan tapi juga lama sekali tidak terawat secara baik. Dengan begitu gigimu itu mengalami kerusakan berat", jawabnya balik sembari memandang Aisyah dengan penuh keprihatinannya.

Aisyah berdiri tertegun serta menarik napas panjang tapi sempat pula memasang raut muka yang dirasa tidak berdaya lagi karena putus asa. Saking tak tahannya lalu Aisyah mengumpat sendiri sambil mengenakan jas musim dinginnya,
"Kenapa di negara maju seperti Belanda ini masih saja ada dokter yang mentalitasnya "Maling" seperti di negara kelahiranku? Rasanya aku ini seperti hidup di negara terbelakang saja. Kenapa mereka-mereka itu hidupnya masih merasa nyaman memiliki mentalitas budak dengan menindas rakyatnya sendiri? Bahkan merasa bangga dan aman pula menjadi "maling" di negara orang, bukankah itu namanya korupsi?”
"Doktermu itu siapa sih namanya dan dimana prakteknya?" tanya dokternya makin penasaran.
Lalu Aisyah menyebut dua nama dokter giginya. Ayah dan anaknya.
"Lho, bukankah dia itu pernah mendapat penghargaan sebagai salah satu dokter gigi terbaik di Nederland? Oooh...jadi terakhir ini gigimu dirawat oleh putrinya?" Tanya dokternya dengan pancaran matanya yang kelihatannya terheran-heran tapi penuh perhatian.
"Yaah...nyatanya prestasi kerjanya itu tidak baik untuk bangsanya sendiri padahal telah puluhan tahun merawat gigiku, yang kemudian aku diwariskan ke anak perempuannya dengan alasan telah berusia tua. Rupanya ketika itu aku salah menilai namun nyatanya yang kualami nasibku menjadi seperti ini". Jawab Aisyah dengan raut wajahnya kelihatan semakin murung.

"Sungguh menyedihkan ternyata selama ini dokter gigimu yang telah kau percaya itu memperlakukan diskriminasi terhadap sesama bangsamu sendiri di perantauan. Juga, aku tidak menyangka putrinya yang lahir di Belanda itu menelantarkan perawatan gigimu pula... ". jawab pak dokter lirih dengan raut wajahnya seperti prihatin
"Menurutku sang bapak itu juga seorang "penipu" lantaran 5 tahun yang lalu ia menyatakan ke aku bahwa dalam waktu singkat akan pensiun tapi nyatanya sampai sekarang masih praktek." Jawab Aisyah sambil meninggalkan kamar praktek dokter gigi barunya.


Amsterdam - Januari 2006


Bercermin di muka Arca

Oleh MiRa

Waktu menjelang pagi dan mataharipun memancarkan cerahnya cahaya disepanjang bentangan sawah padi berbukit. Burung-burung pun terlihat pula beterbangan hilir-mudik sembari mengibas sayapnya, seperti bersorak ria mendendangkan irama pencerahan.

Sementara itu sosok perempuan duduk khusuk memandang ke luar, bibir indahnya berkomat-kamit tak henti-hentinya, kadang mengucap menghembus sang surya yang melintasi celah-celah tirai tipis dibalik jendela.

Bis umum yang ditumpanginya mulai memasuki kota tua, berpenduduk sekitar hampir dua juta orang. Kota ini memang dikenal oleh para pengunjung turis asing sebagai kota budaya berkarakter mistik dan eksotik. Namun buat perempuan itu, si Nasib Ayu yang tak bisa menyelesaikan bangku sekolah dasar, hanyalah terpancang pada satu pengharapan baru, yaitu ingin meraih nasib baik buat menyambung hidup.

Sepanjang perjalanan ke kota tua itu ditempuhnya selama 13 jam, tak terelakkan telah mengingatkan kembali rekaman masa lalu hidup dirinya yang dirasakan kelam. Keinginannya untuk bisa bertahan hidup, dilaluinya dengan keyakinan jiwa loyalitasnya terhadap keluarga dan kemampuan dirinya.

Sementara si Nasib Ayu sedang mengoletkan badannya, tercermin masih diselubungi pahit getirnya kehidupan dunia kupu-kupu malam, yang seketika seperti terhenyak kaget ketika terdengar derungan suara mesin bis yang ditumpanginya, yang berhenti di sebuah terminal kota Chiang Mai yang dituju. Saat kesejukan jiwa yang baru dirasakannya tiba-tiba tercekam aura kota tua yang dirasa masih memiliki tradisi Budhisme. Dirasakannya vibrasi getaran di tubuhnya, yang gemulai semakin menghimpit alur detak jiwa derita atas penghianatan hidupnya.

Kehadiran si nasib Ayu di tengah-tengah kehidupan kota tua ini memang menjadi suatu tantangan baru buatnya. Letak kota dibelahan utara Thailand ini memang dianggap memiliki kesejukan dan kenyamanan hidup bagi pasar turism di Smiling Country. Tapi buat si nasib Ayu hanyalah sebagai khayalan ilusi yang dipaksakan oleh kondisi hidupnya sebagai penghibur hati sang para pengunjung turis asing. Iapun menyadari atas kehadirannya yang dipuja sebagai salah satu penghias ritual tradisi Budhisme dalam catatan tinta hitam kehidupan kupu-kupu malam.

Perjalanan hidupnya nyatanya telah menjadikan dirinya untuk jaminan spekulasi kenikmatan para pengunjung turis asing, dianggapnya ini demi menyelamatkan hidupnya biarpun si pengunjung turis asing pun tidak akan peduli atas hikma dan takdir dari kota mistik nan erotis, tetap terkesan indah, cantik, ramah dan selalu tersenyum mesra.

Jejak langkah mengarungi rintangan perjalanan hidup disepanjang mata rantai pegunungan Omkoi, Mae Jam, Chiang Dao dan Mae Ai, telah menjadi takdir luka dalam gurasan penikmat dahaga akan kehangatan jiwa insani, sementara seruan si nasib Ayu atas dirinya dijadikan lahan jiwa passie dalam hidupnya kupu-kupu malam.

Aagh… si nasib Ayu tetap tegar menekuni doa bersimpuh menghadap Arca mungil, bibir indahnya mengalunkan irama syahdu, sentuhan dupa diantara jari tangan yang lentik dan elok mengayun hanyut dalam alunan senandung rindu derita menanti harapan baru. Pancaran matanya yang sendu, meneteskan air mata, dilimpahkannya bagaikan air mengalir amarah disepanjang sungai keruh dalam jiwanya.

Dirasakannya sekujur tubuhnya mengucur letupan butir-butir ingatan masa lalu, bergetar dalam alur jaringan tegangan ilusi kehidupannya. Kekecewaan nasib hidupnya terdahulu terasa semakin menghimpit dalam cengkraman penghianatan cinta kasih yang dimilikinya. Tiada tempat baginya untuk memberikan rasa cintanya pada insani, dan hanya senyuman patung Budha yang mungil itulah dianggap sebagai refleksi penghibur lara curahan hati.

Roda kehidupan si nasib Ayu serasa semakin mengerang perih nyerinya luka derita, namun tak terpatahkan kehendak dirinya untuk tetap menjejakan langkah menyusuri lahan-lahan pengharapan baru. Lain halnya bagi para pengunjung turis asing yang terus mengalir deras arus nikmat menuntut kepuasan pada jiwa keterasingan dirinya, dengan membeli kehangatan jiwa cinta kasih insani kupu-kupu malam di taman labirin Pasar Bebas istana kapitalisme.

Valentine's days, 14 Februari 2004

No comments:

Post a Comment